Modal Awal Entrepreneur Itu Cuma Berani Dan Mimpi

Salah satu pandangan keliru pada sebagian orang yang ingin memulai usaha tapi tak juga berani melakukan apapun untuk mewujudkannya, adalah karena mereka yakin kalau memulai usaha itu harus punya uang tunai sebagai modal awal usaha terlebih dulu. Itu keliru besar!
Sebenarnya yang paling dibutuhkan untuk memulai usaha bukan modal uang,
tetapi keberanian untuk terus mencoba, memulai buka usahanya.
Maaf, halaman yang Anda cari di blog ini tidak ada.
Maaf, halaman yang Anda cari di blog ini tidak ada.

EGALITER ITU PERLU


Teori kepemimpinan berdasarkan gen mengungkapkan, bahwa pada dasarnya setiap orang itu sama. Begitu pula halnya, didalam mendambakan perhatian positif. Saya melihat salah satu upaya untuk mewujudkan hal itu adalah jika kita berhasil menerapkan hubungan yang lebih mengedepankan aspek humanis dan harmonis dalam komunikasi antara level struktural atau yang lebih dikenal dengan hubungan egaliter. Saya merasa yakin, bahwa hubungan semacam ini segi manfaatnya sangat besar, bila kita benar-benar berhasil menerapkannya di perusahaan kita masing-masing.

Hanya saja, hubungan ini akan berjalan bila diawali oleh pimpinannya. Kita sebagai seorang wirausahawan atau entrepreneur yang juga adalah seorang pemimpin, memang perlu memberikan suri teladan terlebih dahulu akan pentingnya hubungan egaliter ini pada lingkungan kerja kita, pada staf kita. Sebab, hubungan egaliter itu akan membuat kita semakin faham pada suatu bentuk komunikasi yang transparan dan jujur. Begitu halnya dalam hubungan intrapersonal. Dimana, hubungan antara pimpinan dengan staf tak ada lagi jarak yang tajam. Namun, sikap saling menghormati tetap terjaga.

Menurut saya, dampak positif lain dalam hubungan egaliter itu adalah kita akan lebih dapat meningkatkan kecerdasan emosional kita. Terutama pada hal yang berkaitan dengan soal membina hubungan dengan orang lain, dan mengenali emosi orang lain. Dengan begitu, kita akan lebih mudah menyelaraskan diri (harmonizing) dengan orang lain.

Itu penting kaitannya dengan bisnis. Sebab, hubungan semacam ini akan memungkinkan kita lebih memiliki rasa percaya diri yang kuat. Segala ide, pemikiran dan gagasan bisnis kita juga akan semakin baik. Sehingga hal itu, tidak mustahil akan membuat kita cenderung lebih kreatif, dan akhirnya kita akan lebih produktif. Begitu pula halnya dengan semangat kita dalam berwirausaha juga akan semakin bergairah. Dan, sukses akan mudah tercapai.

Dengan begitu, saya rasa hubungan antara pemimpin dengan staf tidak harus melewati dulu birokrasi yang berbelit-belit. Ruang kerja bisa kita buat sedemikian rupa, kalau perlu terbuka, sehingga komunikasi dua arah (two way traffic communication) antara pimpinan dengan staff akan lebih mudah tercipta.

Kita tentu mengerti, bahwa pimpinan dalam mengembangkan bisnisnya tak bisa sendiri. Membutuhkan bantuan staf. Maka, sebaiknya, kita sebagai seorang entrepreneur tak perlu ragu lagi menerapkan hubungan harmonis semacam itu.

Apalagi di saat sekarang ini, jelas tak hanya menuntut kita piawai atau jeli di dalam melihat dan meraih peluang bisnis, tapi kita juga harus pintar pula menerapkan bentuk hubungan kerja yang harmonis. Tim kerja di perusahaan kita akan semakin kompak dan solid.

Hubungan egaliter itu, saya rasa perlu karena hubungan ini akan lebih mengkondisikan kita untuk mau mendengarkan pendapat orang lain. Kepercayaan diri kita maupun staf juga akan tumbuh. Padahal kita tahu bahwa kepercayaan itu adalah faktor paling penting di balik setiap tindakan kreatif.

Namun, kultur ini tidak ada kolerasinya bahwa yang pantas menerapkannya adalah harus mereka yang memiliki intelektualitas tinggi. Justru yang terpenting adalah bagaimana kita bisa memimpin. Memimpin adalah sesuatu yang berkaitan dengan mengelola orang-orang yang pintar. Namun, itu bukan berarti kita harus menjadi orang paling pintar atau professional.

Memang entrepreneur itu harus didampingi professional, agar bisnisnya lebih berkembang. Sebab cara berfikirnya seringkali meloncat-loncat. Sementara, seorang professional pemikirannya cenderung yang lurus-lurus atau yang aman-aman. Maka cukup riskan, bila dia lantas mencoba menjalankan bisnisnya seorang diri alias one man show. Kualitas manajemennya akan kurang baik. Maka, seorang entrepreneur dan professional harus memiliki hubungan yang harmonis.

Apalagi dalam waktu dekat ini kita akan memasuki milenium ketiga yang kemungkinan besar dunia bisnis kita cenderung akan penuh dengan hyper-competition, suatu persaingan yang sangat ketat. Maka, tanpa ada hubungan seperti itu di lingkungan kerja atau perusahaan kita, maka tentu saja target bisnis kita akan sulit tercapai.

Oleh karena itu, tak ada salahnya bila kita berani mencoba menerapkan hubungan egaliter ketimbang hubungan yang terlalu mengedepankan jarak atau gap antara pimpinan dengan staf. Sebab, hubungan seperti ini akan membuat suasana kerja menjadi tisak kondusif atau tidak enjoy. Kreatifitas juga bisa mandeg dan prestsi kerjapun akan menurun. Itu sebabnya, mengapa hubungan egaliter itu perlu.

DAN


Siapa yang tak kenal dengan kelompok music anak muda dari Yogya, Sheila on 7 ? Tentu, anda semua pernah mendengarkan lagu hitsnya yang berjudul “DAN”. Konon, album pertamanya itu terjual lebih dari 1 juta keeping. Kita tentu bangga dengan kesuksesan mereka.

Judul lagu “Dan” itu cukup menarik buat saya. Namun, “Dan” dalam tulisan ini artinya sinergi. Sebab, yang saya ungkap kali ini bukanlah asyiknya mendengarkan lagu “Dan”, namun bagaimana pentingnya sebuah sinergi dalam dunia bisnis. Saya yakin, kita bisa menjadi entrepreneur tangguh atau terdepan, bila kita bisa bersinergi. Bekerjasama dengan pihak lain, demi kesuksesan bisnis kita.

Mungkin Anda bertanya, apa benar bersinergi itu menguntungkan kita ? Sebab, tak sedikit kasus yang menunjukan bahwa bersinergi dengan orang lain justru membuat bisnis kita sulit berkembang. Saya sudah menduga, pasti pertanyaan Anda seperti itu. Memang, tak selamanya bersinergi itu negative. Tapi sebaliknya, bersinergi membuat bisnis kita maju dan kita mampu memanfaatkan peluang bisnis. Konsep bisnis kita menjadi brilian, selama sinergi yang saya maksud itu positif.

Setelah diteliti, ternyata memang sinergi itu bisa negative dan bisa positif. Untuk kita menjadi yang terbaik, tentu kita harus mencari rekan bisnis yang positif. Ini menunjukan, bahwa kita akan memiliki kekuatan, potensi kuat dan mampu meyakinkan prospek bisnis kita. Dengan sinergi positif, saya yakin kita akan memiliki pemikiran jauh ke depan penuh kepercayaan diri, sehingga mampu mengantisipasi hal-hal yang tidak pasti.

Apalagi, dalam era global, dunia bisnis berputar cepat, terkadang tidak rational, tidak pasti, sehingga menghadapi hal itu kita memang harus memiliki sinergi atau kekuatan kerjasama yang sangat tinggi. Saya yakin hal itu akan menjadikan kita menjadi entrepreneur yang selalu optimis atau memiliki sense of optimism yang tinggi. Tapi juga bisa sebaliknya, bila sinergi itu negative, maka bisnis apapun yang kita jalankan tidak akan berhasil.

Keyakinan saya pun bertambah dengan pengalaman ini. Saya pernah diajak bisnis pom bensin dengan teman pengusaha. Tapi setelah lewat proses panjang, ternyata sulit terealisir. Saat itu saya belum yakin, apakah karena itu sinerginya negative? Empat tahun kemudian saya ketemu lagi sama teman pengusaha tadi, yang kini buka bisnis computer. Dia mengajak saya lagi bisnis showroom atau jual beli computer.

Rupanya, saya dan teman saya itu sama-sama belum pecaya bahwa sinergi kami negative. Kami coba lagi, tapi gagal. Bisnis itu sampai kini belum terealisir juga. Contoh lain, artis Camelia Malik. Saat dia bersuamikan Reynold, pasangan ini tidak cocok dan tidak dikaruniai anak. Tapi, setelah berpisah dan mereka menemukan pasangan masing-masing, ternyata cocok dan dikaruniai anak. Jadi tak ada sinergi positif.

Begitu juga hubungan sinergi antara owner dengan eksekutif. Bisa positif, bisa juga negative. Namun, bagi kita yang percaya pada sinergi, jumlah satu ditambah satu bukan hanya dua. Bisa sepuluh, seratus, bahkan seribu. Saya sendiri tidak meragukan hal ini. Tapi setidaknya, dengan kita memiliki kecerdasan optimal dan intuisi yang tajam, saya yakin, kita akan semakin pintar memilih rekan bisnis yang bersinergi positif. Dan tidak mustahil, entrepreneur yang memiliki kemampuan tersebut akan sangat menguntungkan bagi bisnis maupun kehidupannya.

PEMIMPIN BUKAN MANAGER


Melakukan hal-hal yang benar (ding the right things), berani menghadapi risiko dan memiliki untuk selalu nomor satu. Ide-ide bisnisnya orisinil, dan menaruh mata ke masa depan serta memiliki perspektif jauh ke depan penuh kepercayaan diri. Itu salah satu profil seorang pemimpin.

Walaupun banyak yang menganggap pemimpin itu menyukai segala bentuk macam tantangan, karena rasa optimis yang selalu dimilikinya. Cukup menarik buat saya. Sebab yang saya amati dan rasakan, pemimpin bukan hanya mampu manggerakan orang lain, melainkan juga berani mengambil pola pikir yang tidak popular sekalipun, mampu memberikan solusi, dan memiliki semangat untuk menjadi selalu yang terdepan.

Setelah diteliti, ternyata dalam menjalankan bisnis saat ini maupun masa datang, memang seharusnya memiliki manager leader, manajer yang punya jiwa pemimpin. Mengapa? Sebabnya adalah persaingan yang serba kompetitif, situasi bisnis yang kompleks dan sulit diramalkan keberlangsungannya, sehingga sangat dibutuhkan sosok manajer seperti itu. Kalau tidak, kita akan kalah bersaing. Akibatnya, bisnis yang kita jalankan akan sulit maju.

Saya setuju pendapat pakar manajemen yang mengatakan, kalau pemimpin itu selalu melakukan hal-hal yang benar, sementara manajer hanya mampu melakukan hal-hal dengan benar (doing the things right). Dimana, seorang pemimpin dalam melakukan hal-hal yang benar tidak terlalu memperdulikan caranya. Itu tak terlalu penting baginya. Sebab, bagi seorang pemimpin, hal-hal yang menyangkut urusan pelaksanaan idenya itu adalah tugas manajer. Pemimpin selalu berfikir loncat-loncat, dan jangkauannya sering kali panjang, bisa membingungkan bawahan untuk mengikutinya.

Lain halnya dengan manajer. Jangkauan ide atau gagasannya pendek, dan wawasannya relatif kering. Kewajibannya adalah bagaimana melakukan tugasnya dengan benar. Manajer baru jalan setelah ada planning dulu, sudah ada program kerja atau prototype-nya. Wajar kalau ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya manajer itu tiruan, sementara pemimpin itu adalah orisinal.

Itu mengingat, ide tau gagasan seorang pemimpin tidak pakai planning. Responsibilitasnya memang tidak setiap saat muncul. Bila ternyata ide-ide bisnis yang diajarkannya itu nanti benar atau salah, urusan belakangan. Baginya yang terpenting telah menemukan ide bisnis yang cemerlang.

Kita bisa juga lihat, bahwa manajer dalam rangka mempertahankan proses atau kontinuitas kerjanya cenderung menerima status quo. Statusnya ingin aman-aman saja. Bahkan, kalau perlu menghindar dari resiko. Tapi sebaliknya dengan pemimpin. Ia justru menentang status quo, dan lebih berani menghadapi resiko. Perbedaan lainnya, adalah seorang manager itu suka bertanya, bagaimana dan kapan terhadap sesuatu hal. Sedang pimpinan lebih suka bertanya apa dan mengapa. Selain itu, pimpinan lebih terkesan ingin menjadi pribadinya sendiri, dan menguasai lingkungannya. Sementara manager adalah “tentara baik” yang klasik, dan menyerah kepada lingkungan.

Manajer dalam menjalankan aktivitasnya juga sangat bergantung pada pengawasan. Dia ingin selalu mengelola dan mempertahankan bisnis yang sudah ada, serta lebih berfokus kepada sistem dan struktur. Sementara, pemimpin lebih merupakan sososk yang justru mampu membangkitkan kepercayaan bawahannya atau relasinya. Itu sebabnya, mengapa fokus seorang pemimpin lebih kepada orang, dan bukan pada sistem dan struktur.

Oleh karena itu, jika kita sekarang berada pada posisi manajer, sebaiknya tidak menafikan atau menghilangkan nuansa-nuansa atau jiwa kepemimpinan. Agar segala keputusan yang diambil tidak kering, lebih tenang dalam menjalankan bisnis, mampu mengantisipasi hal-hal yang tak pasti, enerjik, antusias, memiliki integritas, tegas tapi adil, visi bisnisnya lebih jelas, dan mampu memproyeksikan bisnis ke masa depan.

TENTANG GURU ENTREPRENEUR

Lewat Bimbingan Belajar Primagama, Purdi berhasil menjadi pengusaha sukses. Untuk meraih impiannya Purdi berhenti kuliah. Akhirnya ia berhasil juga mendapatkan gelar dari lembaga pendidikan yang dibentuknya sendiri.

purdiSosok Purdi E. Chandra kini dikenal sebagai pengusaha yang sukses. Lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel) Primagama yang didirikannya bahkan masuk ke Museum Rekor Indonesia (MURI) lantaran memiliki 181 cabang di 96 kota besar di Indonesia dengan 100 ribu siswa tiap tahun. Apa resep suksesnya sehingga Primagama kini menjadi sebuah holding company yang membawahi lebih dari 20 anak perusahaan?

Lego Motor, Berhenti Kuliah
Bukan suatu kebetulan jika pengusaha sukses identik dengan kenekatan mereka untuk berhenti sekolah atau kuliah. Seorang pengusaha sukses tidak ditentukan gelar sama sekali. Inilah yang dipercaya Purdi ketika baru membangun usahanya.

Kuliah di 4 jurusan yang berbeda, Psikologi, Elektro, Sastra Inggris dan Farmasi di Universitas Gajah Mada (UGM) dan IKIP Yogya membuktikan kecemerlangan otak Purdi. Hanya saja ia merasa tidak mendapatkan apa-apa dengan pola kuliah yang menurutnya membosankan. Ia yakin, gagal meraih gelar sarjana bukan berarti gagal meraih cita-cita. Purdi muda yang penuh cita -cita dan idealisme ini pun nekad meninggalkan bangku kuliah dan mulai serius untuk berbisnis.

Sejak saat itu pria kelahiran Punggur, Lampung Tengah ini mulai menajamkan intuisi bisnisnya. Dia melihat tingginya antusiasme siswa SMA yang ingin masuk perguruan tinggi negeri yang punya nama, seperti UGM.

Bagaimana jika mereka dibantu untuk memecahkan soal-soal ujian masuk perguruan tinggi, pikirnya waktu itu. Purdi lalu mendapatkan ide untuk mendirikan bimbingan belajar yang diberi nama, Primagama.

Saya mulai usaha sejak tahun 1982. Mungkin karena nggak selesai kuliah itu yang memotivasi saya menjadi pengusaha, kisah Purdi. Lalu, dengan modal hasil melego motornya seharga 300 ribu rupiah, ia mendirikan Bimbel Primagama dengan menyewa tempat kecil dan disekat menjadi dua. Muridnya hanya 2 orang. Itu pun tetangga. Biaya les cuma 50 ribu untuk dua bulan. Kalau tidak ada les maka uangnya bisa dikembalikan.

Segala upaya dilakukan Purdi untuk membangun usahanya. Dua tahu setelah itu nama Primagama mulai dikenal. Muridnya bertambah banyak. Setelah sukses, banyak yang meniru nama Primagama. Purdi pun berinovasi untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikannya ini.

Sebenarnya yang bikin Primagama maju itu setelah ada program jaminan diri, ungkapnya soal rahasia sukses mengembangkan Bimbel Primagama. Kalau ikut Primagama pasti diterima di Universitas Negeri. Kalau nggak uang kembali. Nah, supaya diterima murid-murid yang pinter kita angkat jadi pengajar. Karena yang ngebimbing pinter, ya 90% bisa lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri, lanjutnya.

Mengembangkan Sistem Waralaba

purdi1987Karena reputasinya Bimbel Primagama makin dikenal di Kota Pelajar, Yogya. Purdi tak cepat berpuas diri. Ia ingin mengembangkan cabang Primagama di kota lain. Mulailah cabang-cabang Primagama bermunculan di Bandung, Jakarta dan kota besar lain di Indonesia.

Purdi juga berinovasi mengembangkan sistem franchise atau waralaba (pemberian hak pada seseorang dalam penggunaan merek untuk menjalankan usaha dalam kurun waktu tertentu). Di Pekanbaru, Sampit ( Kalimantan Tengah) dan Tangerang telah dibuka cabang dengan sistem ini. Menurutnya sistem ini sangat tepat untuk dikembangkan sebab usaha bisa berkembang tanpa harus menyiapkan dana sendiri.

Sistem ini lebih menguntungkan untuk mengembangkan usaha kita daripada cara yang lainnya. Selain tak perlu merogoh kocek untuk investasi lagi ternyata keuntungan sebagai pemilik merek cukup besar. Yang jelas orang lain membayar merek dan royalti tiap bulannya pada kita, jelas ayah dari Fesha dan Zidan ini.

Purdi yakin merek lokal bisa berkembang dengan sistem ini dan bukan terbatas pada produk makanan saja. Jika merek lokal bisa masuk bisnis waralaba bukan tidak mungkin akan menjadi produk ini bisa jadi produk global seperti McDonald. Namun ia menyayangkan di Indonesia belum ada lembaga yang menyiapkan sistem waralaba mulai dari persiapan awal hingga jadi.

Pengusaha Yang Berani
Keberanian adalah salah modal wirausaha. Purdi menyatakan seorang wirausaha harus berani mimpi, berani mencoba, berani merantau, berani gagal dan berani sukses. Lima hal ini adalah hasil dari pengalamannya selama ini.

Sejak dini Purdi sudah dididik berjiwa usaha. Di bangku SMP ia sudah beternak ayam dan bebek, kemudian menjual telurnya ke pasar. Purdi bermimpi kelak ia akan menjadi pengusaha sukses.

Berani mimpi menurut Purdi adalah cetak biru dari sebuah visi ke depan seorang wirausaha. Mimpi itu akan mensugesti seseorang untuk berhasil dan mengerahkan semua kemampuannya untuk mencapai visinya. Mimpi ini pula akan memotivasi bawahannya dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih dinamis.

Orang yang memiliki mimpi besar dicontohkan Purdi adalah Bill Gates yang bermimpi kelak di semua rumah di dunia akan memiliki computer. Atau juga Michael Dell yang bermimpi mengalahkan perusahaan komputer raksasa IBM. Mereka ini menurut Purdi orang yang yakin mimpinya akan jadi kenyataan dengan kerja keras.

Orang itu tidak pernah gagal, hanya saja dia berhenti mencoba, tukas pria yang mendapatkan gelar dari lembaga pendidikan yang dibentuknya sendiri. Purdi mengingatkan jika seorang ingin berhasil dalam bisnis harus berani mencoba. Situasi sulit justru membuat seorang wirausaha semakin tertantang.

Soal merantau, Purdi muda sudah berani meninggalkan kota kelahirannya dan mencoba mandiri dengan bersekolah di salah satu SMA di Yogyakarta. Ibunya, Siti Wasingah dan ayahnya, Mujiyono, merestui keinginan kuat anaknya untuk mandiri. Dengan merantau Purdi merasa tidak tergantung dan bisa melihat berbagai kelemahan yang dia miliki. Pelan-pelan berbagai kelemahan itu diperbaiki oleh Purdi. Hasilnya, Ia mengaku semakin percaya diri dan tahan banting dalam setiap langkah dalam bisnisnya.

Gagal dan berhasil ada dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Namun, bagaimana menyikapi sebuah kegagalan itu yang penting. Baginya, pengalaman gagal dapat dipergunakan untuk menemukan kekuatan baru agar bisa meraih kesuksesan kembali.

Mungkin saja kegagalan itu datang untuk memuliakan hati kita, membersihkan pikiran kita, memperluas wawasan kita, membersihkan pikiran kita dari keangkuhan dan kepicikan, serta untuk lebih mendekatkan diri kita pada Tuhan, kata pria yang mengaku pernah 10 kali gagal saat membuat restoran Padang.

BODOL, BOTOL dan BOBOL
Purdi mengaku punya resep manjur bagi yang ingin berwirausaha, yaitu BODOL, BOTOL dan BOBOL. Mungkin masih kedengaran aneh di telinga, namun ia meyakinkan bahwa resep ini berguna bagi yang merasa ragu-ragu dan terlalu banyak perhitungan dalam berusaha yang malah menghambat rencana mereka untuk berwirausaha.

Jika orang bingung ketika memulai bisnis karena tak punya modal, menurut Purdi gunakan saja resep BODOL yaitu Berani, Optimis, Duit, Orang Lain. Dalam bisnis diperlukan keberanian dan rasa optimis. Jika tidak punya uang tidak ada salahnya pinjam duit orang lain. Pasti ada orang yang mau membiayai bisnis yang akan kita jalankan jika memang prospektif.

Kalau kita punya duit dan modal tapi tidak ahli di bidang bisnis, gunakan jurus BOTOL, tukas Purdi. Berani, Optimis, Tenaga, Orang Lain. Jika kita punya modal, kenapa tidak kita serahkan pada yang ahli di bidangnya sehingga bisnis tetap berjalan. Pendeknya kita tak harus menggunakan tenaga sendiri untuk menjalankan bisnis.

Resep terakhir adalah jurus BOBOL. yaitu Berani, Optimis, Bisnis, Orang, Lain. Ini dikeluarkan jika ide bisnis pun tak ada maka kita bisa meniru bisnis orang lain tambah Purdi. Ibaratnya, bisnis adalah seperti masuk ke kamar mandi yaitu dengan tidak banyak berpikir. Jika di kamar mandi airnya kurang hangat, semua bisa diatur hingga sesuai dengan keinginan kita.

Enterpreuner University, Kuliah Tanpa Gelar
Semua orang bisa jadi wirausahawan, ucap suami Triningsih Kusuma Astuti ini yakin. Memang yang paling baik ditanamkan pendidikan enterpreuner ini sejak kanak-kanak di dalam keluarga. Sebab, anak akan merekan semuanya dalam memorinya dan selanjutnya akan menjadi pola pikir dan cara perilaku anak di masa depannya. “Namun, itu bukanlah hal-hal penentu keberhasilan. Begitu pula dengan faktor usia, kaya-miskin, jenius atau tidak, juga gelar formal, kata pria yang juga menjadi dosen tamu di beberapa universitas ini.

Untuk menjadi pengusaha tak perlu pintar dan memiliki embel-embel gelar. Sebab jika terlalu pintar justru malah akan berhitung dan melihat banyak resiko yang harus dihadapi sehingga nyalinya malah ciut. Bayangkan anda kuliah Magister Manajemen (MM) di UI anda harus bayar 50 juta. Selesai kuliah mungkin anda merasa tidak punya uang, katanya lagi.

Keprihatinannya terhadap iklim bisnis di Indonesia menyebabkan Purdi harus melakukan sesuatu. Tampilah ia sebagai bagian dari politisi yang manggung di Senayan sampai tahun ini. Keinginannya adalah merubah pola pendidikan saat ini yang berorientasi menjadi pekerja bukan pengusaha. Seharusnya, menurut pria yang pernah menjadi ketua Himpunan Penguasaha Muda Indonesia (HIPMI) cabang Yogya ini, ada alternatif lain dalam sistem pendidikan kita. Paling tidak anak-anak diajarkan untuk berwira usaha. Sayangnya idenya tidak mendapat tanggapan.

Saya merasa adanya universitas untuk mencetak pengusaha baru itu penting. Kalau perlu universitas ini tidak perlu menggunakan aturan formal, tanpa status,tanpa akreditasi, tanpa dosen, tanpa ijazah dan tanpa gelar. Wisudanya pun dilakukan saat mahasiswa benar-benar membuka usaha, ujar pria yang menerima Enterprise 50 dari Anderson Consulting dan Majalah Swa ini serius.

Idenya ini diwujudkan dengan membentuk Enterpreuner University (EU). Dengan dibimbing langsung oleh Purdi, EU kini telah memiliki 37 angkatan. Di sana tak ada nilai, ijazah maupun gelar. Menurut Purdi masyarakatlah yang berhak menilai pengusaha itu memiliki kredibilitas atau tidak, sukses atau tidak. Hal ini berbeda dengan pendidikan yang memberlakukan ujian tapi tidak membolehkan siswanya mencontek.

Dalam dunia riil bisnis, yang namanya bertanya sah-sah saja. Menyontek usaha orang lain juga boleh saja. Meniru kiat sukses pengusaha lain juga silahkan. Nggak ada yang melarang, Purdi beralasan.

Di EU yang hanya memakan waktu 6 bulan dan kuliah seminggu 2 kali ini, Purdi mengkonsentrasikan pendidikannya pada pengembangan kecerdasan emosional, spiritual, mempertajam kreativitas dan intuisi bisnis mahasiswanya. Materinya pun seputar nilai-nilai kewirausahaan seperti pantang menyerah, kreatif dan inovatif, semangat tinggi, berani dan jeli melihat peluang usaha. Purdi yakin kelak EU akan mencetak pengusaha-pengusaha baru yang akan menggiatkan iklim investasi di Indonesia.

MIMPI JADI INVESTOR

Menjadi Karyawan (employee), bisnis sendiri (self-employed), menjadi pengusaha (business owner), dan sekaligus sebagai investor, itu memang bisa menjadi pekerjaan kita. Contohnya, dokter, selain dia sudah tercatat sebagai pegawai negeri atau sebagai karyawan, dia pada saat praktik di rumah atu di tempat praktiknya, maka sang dokter itu sudah mengelola bisnis sendiri.
Nah, apabila dokter itu punya klinik.

MIMPI JADI ENTREPRENEUR


Banyak diantara kita yang ingin bekerja pada perusahaan orang lain, sebagai karyawan. Apakah itu sebagai karyawan perusahaan swasta maupun pegawai negeri. Saya kira alasannya, kita tentu sudah tahu semua, yaitu sebagai karyawan yang dibutuhkan adalah keamanan. Setiap bulan ada kepastian terima gaji. Setelah itu dapat pensiun.
Mengapa tidak tertarik untuk menjadi Entrepreneur. Saya kira, hal itu.

SULIT UNTUK MEMULAI

Banyak pertanyaan, mengapa orang itu sulit memulai usaha. Dan, ahirnya banyak alasan yang sengaja dicari-cari yang dijadikan sebagai alasan pembenar, bahwa memulai usaha itu sulit, karena memulai usaha itu harus ada modal, punya tempat, dll. Padahal, menurut saya, jika kita memiliki jiwa wirausaha, maka persoalan semacam itu akan bisa kita atasi. Sehingga, ahirnya menyadari bahwa.