Modal Awal Entrepreneur Itu Cuma Berani Dan Mimpi

Salah satu pandangan keliru pada sebagian orang yang ingin memulai usaha tapi tak juga berani melakukan apapun untuk mewujudkannya, adalah karena mereka yakin kalau memulai usaha itu harus punya uang tunai sebagai modal awal usaha terlebih dulu. Itu keliru besar!
Sebenarnya yang paling dibutuhkan untuk memulai usaha bukan modal uang,
tetapi keberanian untuk terus mencoba, memulai buka usahanya.

Bagian 6 Hati Nurani dan Intuisi Sang Entrepreneur


Dalam bisnis, intuisi atau mengedepankan peran otak kanan ketimbang hitungan rasional adalah penting. Untuk itu, ketajaman intuisi seorang entrepreneur mestinya terus di asah. Kadang dalam menjalankan usaha apalagi yang sudah berjalan lama akan terjadi status quo atau kejenuhan. Bagian ini akan memberikan solusi bagaimana mengatasi kejenuhan dalam usaha, selain memikirkan ide usaha baru, tak ada salahnya seorang pengusaha bisa melakukan jamming. Seperti dalam music jazz, musisi bisa melakukan jams session alias melakukan improvisasi bunyi dan nada music yang berbeda.

Seperti dalam music jazz, dalam bisnis juga perlu adanya harmoni dalam melakukan improvisasi. Untuk itu, sebaiknya antara pemilik usaha dan para manajer dan staf harus ada kesamaan harmoni dan simponi, agar ide-ide bisnis yang hendak diciptakan selaras dan ‘enak dinikmati’ serta tidak terkesan main sendiri-sendiri. Kalau antara pemilik usaha, para manajer dan para staf terjadi harmoni dan kompak dalam melakukan jamming atau improvisasi, pasti akan muncul gagasan – gagasan baru yang segar, sehingga membuat bisnis terus maju dan penuh gairah. Bisnis menjadi arena kehidupan yang menyenagkan dan menantang untuk diarungi. Itulah dunia entrepreneur.

Tolak ukur kesuksesan sebuah usaha adalah terus bergerak maju dan berkembang mengikuti perubahan zaman. Dengan terus menggunakan kepekaan kita terhadap kondisi dan tuntutan pasar yang berubah, kita juga harus bersikap terbuka menerima ide-ide baru, dengan begitu kita semakin tangkas mengkap ide-ide bisnis baru dan tampil sebagai pelopor atau trendsetter dalam bisnis itu. Menjadi yang pertama dan utama, disitulah sukses awal bisnis bisa dipetik!

Mengambil Keputusan


“Haruskah saya membuka rumah makan padang ?” itulah pertanyaan yang sempat muncul dalam benak saya saat itu. Ketika ide semacam ini saya coba lontarkan pada orang lain, mereka malah pesimis dan menanyakan: “Mengapa Anda harus membuka bisnis rumah makan padang, padahal bisnis seperti itu’ kan sudah menjamur. Apakah punya prospek bagus?”

Dengan adanya berbagai komentar tersebut, membuat saya semakin tertantang untuk membuktikannya. Padahal, sebelumnya saya sama sekali belum pernah terjun ke bisnis rumah makan, tetapi hal itu saya anggap sebagai peluang bisnis.

Sebagai entrepreneur, saya harus berani mencoba untuk membuktikannya, dan sanggup mengambil keputusan yang tepat. Namun saat ini saya tetap optimis, bahwa ide tersebut bisa terealisir. Pada akhirnya saya mengambil keputusan, bahwa saya harus berani mencoba bisnis ini. Saya yakin peluang pasar tetap ada, khususnya untuk kalangan masyarakat menengah keatas.

Ternyata, bisnis ini berwujud dan jalan, bahkan dimasa krisis pun, saya optimis bisnis rumah makan tetap prospektif. Kenyataannya, tamu semakin banyak, ada menteri, tokoh masyarakat, artis, dan kalangan pengusaha.

Didalam mengambil keputusan, pertimbangan intuisi saya lebih peka dari pertimbangan rasional. Memang sebagai entrepreneur kita harus berani menggunakan intuisi secara efektif, baik untuk mengambil keputusan dalam bisnis, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun kemungkinan kita tidak menyadari prosesnya, bahwa setiap keputusan yang kita buat dengan menggunakan intuisi ini hanya salah satu contoh dari sekian banyak pengalaman yang saya alami.

Saya merasa betul, betapa tajamnya sentuhan intuisi itu. Hal itulah yang barangkali memungkinkan saya membiarkan data intuisi itu melengkapi data lain, yang akhirnya saya gunakan dalam membuat keputusan. Sehingga, saya semakin yakin, bahwa dalam menggeluti bisnis maupun kehidupan ini, sebaiknya kita tetap menggunakan intuisi. Sebab, intuisi akan ikut membuka pikiran dan memberikan nilai tambah bagi emosi kita, dan intuisi memberdayakan kita agar semakin produktif dan aktif dalam setiap situasi.

Intuisi menjadi sangat penting, tidak hanya untuk kepentingan sekarang, namun juga untuk kepentingan masa depan. Sebab, diperkirankan tantangan bisnis di masa mendatang, relative berbeda dengan sekarang. Perubahannya sangat cepat dan serba kacau, tidak menentu, sehingga sulit bagi kita untuk memprediksikannya.

Suatu tantangan dengan tingkat turbulensi yang tidak menentu semacam ini, jelas akan membuat intuisi kita semakin berperan dalam setiap mengambil keputusan. Kemungkinan ilmu manajemen yang sekarang kita geluti, masih sulit untuk bisa memecahkan berbagai tantangan yang akan terjadi di masa mendatang. Padahal, kita tentunya tetap berharap, bahwa bisnis yang kita jalani sekarang ini harus tetap terus berkembang.

Kita sebagai entrepreneur, disukai atau tidak, harus tajam dalam intuisi. Kita harus mampu berfikir cepat dan akhirnya mampu mengambil keputusan yang tepat. Saya melihat ada sesuatu yang unik pada intuisi, yakni berlawanan dengan proses nalar. Proses intuisi itu tidak linier (bermacam-macam pola), sedang proses rasional adalah linier. Itu sebabnya, mengapa kebanyakan entrepreneur dalam setiap mengambil keputusan atau langkah dalam bisnisnya, sering membuat kejutan, tidak rasional, dan berani menghadapi resiko.

Oleh karenai itu, saya setuju pendapat yang mengatakan, bahwa antara intuisi dan irasionalitas, saling berkaitan. Sebagian keputusan yang kita ambil merupakan campuran berbagai macam ingatan, gagasan, perasaan, dan fakta yang kadang-kadang saling bertentangan. Sehingga “sentuhan” intuitif itu memungkinkan kita membiarkan data intuisi itu melengkapi data lain yang akan kita gunakan untuk mengambil keputusan.

Menurut Quin Spitser dan Ron Evans, intuisi adalah analisa kilat dari fakta menggunakan pengetahuan dan pengalaman sebagai filter. Dalam bisnis, memang dikenal dengan adanya intuisi bisnis. Didalamnya ada wawasan, pengalaman, mental, dan perasaan, tapi ada juga wawasan yang luas, pengalaman banyak, dan mental yang dalam. Intuisi ada 4 empat tingkatan, yaitu bisa muncul melalui fisik, emosi, mental, dan spiritual.

Banyak cara mengembangkan intuisi, diantaranya seperti yang dikembangkan oleh Robert K. Cooper, Phd, yaitu: terjun kedalam pengalaman, kerahkan kemampuan sedikit lebih banyak, tetap terbuka terhadap segala kemungkinan, atasi rasa takut, kenali dan cari cara untuk mengatasi apapun yang menghalanginya. Selain itu Cooper juga menyarankan, supaya peluang pengindraan harus keluar dunia bisnis, berikan perhatian ekstra kepada tanggapan pertama terhadap pertanyaan-pertanyaan, perhatikan bagaiman intuisi berkomunikasi dengan diri kita, luangkan waktu beberapa menit saja dalam sehari untuk catatan kecerdasan emosional, dan jangan lupa memperluas rasa percayadiri. Anda berani mencoba?

BERANI NYUMBANG BERANI INVESTASI


Saya berpendapat bahwa sebenarnya keberanian kita memberikan sumbangn pada orang lain atau pihak lain yang kita berikan secara tulus ikhlas adalah sama halnya dengan kita telah memiliki jiwa entrepreneur atau jiwa wirausaha. Saya yakin, pasti Anda bertanya, kenapa demikian? Padahal kita tahu bahwa sebagian uang yang kita miliki telah kita sumbangkan pada orang lain. Tapi, saya melihat, sikap wirausahawan yang seperti itu pertanda bahwa dia telah memiliki keberanian mengambil resiko yang harus dimiliki oleh seorang wirausahawan. Dan, sebagai wirausahawan kita tetap memiliki kepedulian sosial.

Hanya saja, masing-masing wirausahawan di dalam memberikan sumbangan tentu saja besarnya berbeda-beda. Tergantung keikhlasan masing-masing. Barangkali sudah selayaknya kalau cukup berhasil dalam bisnis kita lantas memberikan sumbangan yang cukup berarti, itu wajar saja. Berbeda halnya dengan mereka yang pendapatannya masih relative kecil. Namun sekali pun pendapatan kecil sebaiknya kita juga membiasakan untuk menyumbang.

Oleh karena itu, kita tak perlu berfikir negative kalu tiba-tiba di kantor kita kedatangan tamu yang minta sumbangan. Berpikir positif saja. Justru kita seharusnya berterimakasih pada sang tamu yang meminta sumbangan pada kita, bahwa di tengah kesibukan kita sehari-hari dalam menjalankan bisnis, ternyata masih ada orang yang mengingatkan kita atau yang mengetuk hati kita untuk ikhlas memberikan sumbangan.

Dalam konteks inilah, mengapa saya menganggap bahwa sesungguhnya pemberian sumbangan ini adalah langkah positif dan langkah maju. Bahkan, bisa saya artikan kalau kita berani menyumbang, maka kita tidak akan takut lagi berinvestasi. Kita juga tidak akan takut lagi memulai atau mengembangkan bisnis. Karena, kita sudah terbiasa terlatih dengan ketidak-takutan dalam memberikan sumbangan. Berani menyumbang dan berinvestasi merupakan keberanian kita untuk menghadapi resiko dan ketidak-pastian.

Singkatnya kalau kita berani menyumbangpasti kita telah memiliki keberanian memulai bisnis atau mengembangkan bisnis, dan memiliki keberanian berinvestasi. Sesungguhnya keberanian kita memberikan sumbangan mudah-mudahan akan membantu melancarkan bisnis yang kita jalani saat ini. Percayalah, banyak menyumbang banyak rezeki.

SAPTUARI SUGIHARTO - KEDAI DIGITAL


Berbeda dengan generasi akhir 1990-an dan awal 2000-an yang umumnya terjun menjadi wirausahawan karena sulit mencari kerja akibat krisis ekonomi yang tengah melanda, generasi pengusaha muda berumur 20-an tahun saat ini tampak memiliki keyakinan diri yang lebih besar. Mereka sejak semula bersungguh-sungguh ingin menjalani hidup sebagai entrepreneur. Salah satu di antaranya adalah Saptuari Sugiharto. Lelaki berusia 29 tahun itu telah mulai berbisnis kecil-kecilan sejak kuliah di Jurusan Geografi Universitas Gadjah Mada. Tahun ini, ia terpilih sebagai runner-up Wirausahawan Muda Mandiri 2007.

Sejak masuk kampus UGM pada 1998, Saptuari telah mendambakan memiliki usaha sendiri. Sembari kuliah; beberapa usaha dijalaninya; mulai dari menjadi penjaga koperasi mahasiswa, penjual ayam kampung, penjual stiker, hingga sales dari agen kartu Halo Telkomsel. Lalu, pada 2004, ketika bekerja sebagai event organizer di sebuah perusahaan di Yogyakarta, mantan staf marketing Radio Swaragama FM ini terperanjat melihat antusiasme penonton berebut merchandise berlogo atau bergambar para selebriti. “Heran. Kenapa orang-orang begitu bersemangat mendapatkan kaus, pin, atau apa saja milik artis,” katanya. “Padahal, mereka bisa membuat merchandise apa saja sesuai dengan kemauannya.”

Bermula dari rasa heran itu, pada 2005 Saptuari mengambil langkah berani mendirikan Kedai Digital. Perusahaan itu bertujuan memproduksi barang-barang cendera mata (seperti mug, t-shirt, pin, gantungan kunci, mouse pad, foto dan poster keramik, serta banner) dengan hiasan hasil print digital. Waktu itu, ia bermodalkan uang sebanyak Rp28 juta; hasil dari tabungan, menjual motor, dan menggadaikan rumah keluarga.

Butuh waktu enam bulan bagi lelaki kelahiran Yogyakarta itu untuk memulai kegiatan Kedai Digital. Terlebih dahulu, ia mesti mencari mesin digital printing. Ia mendapatkannya (buatan China) di Bandung. Ia juga harus mencari tahu sumber-sumber bahan baku. Kemudian, ia harus mempersiapkan tempat usaha, menyusun konsep produk, dan merekrut para staf. Semuanya dilakukan sendirian.

Bisnisnya berjalan pelan tapi pasti. Ketika usahanya mulai stabil, Saptuari memberanikan diri merekrut desainer dari kampus-kampus seni yang memang tersedia cukup banyak di Yogyakarta. Untuk tenaga marketing, digunakan para mahasiswa dari perguruan tinggi lain yang juga tersebar di kota itu. Target pasar Kedai Digital adalah para mahasiswa. Karenanya, menurut Saptuari, perusahaannya tak boleh main-main soal kualitas. Karena itu, ia mesti menggunakan desainer yang memiliki latar belakang pendidikan formal.

Pada tahun pertama, Kedai Digital telah berhasil meraih penjualan sebesar Rp400 juta. Tahun berikutnya, perolehan bisnis melesat menjadi Rp900 juta. Seiring dengan pertambahan outlet, revenue pada 2007 menembus angka Rp1,5 miliar.

Hingga akhir tahun silam, Kedai Digital telah memiliki delapan gerai di Yogyakarta. Salah satunya adalah Kedai Supply yang menyediakan bahan baku untuk kebutuhan produksi di seluruh outlet lainnya. Sementara itu, gerai Kedai Printing dikhususkan melayani pesanan produk-produk advertising seperti banner. Di luar Yogyakarta, Saptuari telah memiliki lima outlet lain (di Kebumen, Semarang, Tuban, Pekanbaru, dan Solo) melalui sistem waralaba.

Menurut Nur Alfa Agustina, Kepala Departemen MikroBisnis Group Bank Mandiri (penyelenggara Wirausahawan Muda Mandiri), di antara 500 peserta yang mengikuti lomba, Kedai Digital dinilai inovatif karena merupakan pelopor industri merchandise dengan metode digital printing di wilayah Yogyakarta. Untuk penilaian dari sisi bisnis, Saptuari mendapat nilai lebih karena bukan berasal dari keluarga pengusaha. Pendidikannya pun tak terkait dengan ilmu ekonomi. Lalu, karena melibatkan banyak mahasiswa dalam menggerakkan usahanya dan mengajarkan mereka soal entrepreneurship, lelaki bertubuh kekar itu mendapat nilai yang tinggi dalam penilaian aspek sosial.

Soal yang terakhir itu, Saptuari memang mengajak para pegawainya yang berperilaku baik untuk ikut memiliki saham di outlet-outlet Kedai Digital. Kini, telah empat kedai yang sahamnya ikut dimiliki para pekerja. “Saya tak mau mereka terus-terusan hanya menjadi pekerja. Mereka juga harus menjadi owner,” katanya. Semangat wirausaha telah ikut disebarluaskan.

BANYAK SUMBER PENGASILAN


Bisnis, biasanya dimulai dengan coba-coba, kadang malah asal-asalan. Dimulai dengan modal seadanya, tempat seadanya, dengan orang yang sama-sama belajar dari nol. Saya kira, dari memulai yang serba kekurangan inilah yang akan membuat kita semakin cerdas dalam berbisnis. Proses bisnis ini akan memberikan pengalaman bisnis yang semakin hari mencerdaskan kita.

Belajar dari pengalaman bisnis setiap hari dan kebutuhan akan kemajuan bisnis kita, mulailah kita memberikan sentuhan manajemen, walaupun itu masih sangat sederhana. Sudah ada bagi-bagi pekerjaan atau bagi-bagi fungsi. Ada yang pegang keuangan, ada yang sudah mulai jadi pemasaran. Ada yang bagian produksi, ada juga yang ngurusi karyawan. Malah terkadang ada beberapa pekerjaan masih dirangkap satu orang. Ini adalah proses menuju bisnis yang sesungguhnya. Artinya, bisnis yang memiliki sistem yang baik. Dengan sudah adanya sistem, kita sebagai pengusaha cenderung mengelola perusahaan dengan full time. Kini, setelah ada sistem, cukup dengan part time.

Oleh karena itu, menurut saya, jika perusahaan kita sudah memiliki sistem yang baik, dan bisnis kita relatif berkembang, maka kesempatan kita untuk mengembangkan bisnis sangat terbuka luas, termasuk membuka bisnis baru. Berdasarkan pengalaman saya, lebih mudah membangun bisnisnya yang ke-2, ke-3, dan seterusnya, daripada ketika memulai bisnis yang pertama. Karena, disaat memulai bisnis yang pertama kita belum mempunyai apa-apa. Sementara, membangun bisnis yang ke-2, ke-3, dan seterusnya lebih mudah karena bisnis kita yang pertama sudah memiliki sistem yang baik. Saya kira, perlu dipertimbangkan matang-matang jika kita ingin mencoba membangun bisnis yang ke-2, seharusnya bisnis kita yang pertama sudah memiliki sistem yang baik.

Dengan aktifitas kita yang sebelumnya full time, dan sebagai entrepreneur menjadi part time, dimungkinkan kita memiliki banyak waktu luang. Banyaknya waktu luang itu, membuat kita sebagai entrepreneur akan lebih fokus dalam menciptakan bisnis-bisnis baru. Menciptakan bisnis baru itu berarti kita telah menciptakan sumber penghasilan baru. Jika perusahaan kita memiliki sistem yang baik, maka manajer dan karyawan akan bekerja sesuai dengan apa yang kita inginkan. Sehingga, banyak pekerjaan yang sudah terbagi habis oleh para professional di lingkungan bisnis kita. Dalam konteks inilah, entrepreneur tidak harus fokus. Justru yang harus fokus adalah orang-orang yang mengelola bisnis kita. Hanya mungkin, kita harus ikut fokus di awal berdirinya bisnis tersebut. Setelah bisnis kita kelihatan jalan, yah cari fokus yang lain.

Sebagai entrepreneur, sebaiknya kita tidak hanya memiliki satu sumber penghasilan saja. Tetapi bagaimana, kita dapat menciptakan banyak sumber penghasilan. Ibarat kita punya telur sepuluh menetas Sembilan, itu lebih baik dari pada hanya mempunyai satu telur yang menetas. Dengan kita membuat bisnis yang ke-2, ke-3, dan seterusnya, kita berharap mendapatkan penghasilan yang ke-2, ke-3, dan seterusnya. Sehingga, dengan kita memiliki sumber penghasilan, maka kita sebagai pengusaha mempunyai peluang untuk memiliki kebebasan financial.

Semangat kita menciptakan bisnis ke-2, ke-3, dan seterusnya akan punya dampak sosial, yaitu menciptakan lapangan kerja, membagi-bagi keuntungan, dan lain-lain. Artinya, kita sebagai entrepreneur memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Silahkan mencoba!

BANYAK MELAYANI BANYAK REZEKI


Barangkali kita semua tahu, bahwa salah satu tugas seorang entrepreneur adalah tugas kepemimpinan. Memang idealnya, entrepreneur adalah sekaligus seorang pemimpin. Paradigma baru, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memberikan pelayanan pada orang yang dipimpinnya atau bawahannya. Maksud saya, entrepreneur sebagai pemimpin, juga sekaligus sebagai orang yang mau melayani. Jangan sampai kemudian terbalik, bahwa pemimpin itu justru minta dilayani.

Dalam konteks inilah, barangkali kita perlu kembali menyadari, bahwa sebagai entrepreneur, apalagi yang baru saja membuka bisnis, maka sesungguhnya sangatlah perlu mengutamakan pelayanan. Misalnya, bagaimana kita melayani konsumen. Bagaimana konsumen puas dengan layanan kita. Dan, bagi kita yang memiliki perusahaan sudah relatif maju, maka konsumen biasanya diberikan pelayanan oleh karyawan kita. Sedang karyawannya dilayani oleh manajernya, dan para manajer semestinya dilayani oleh direksi. Sedangkan, direksi dilayani oleh pemilik bisnisnya.

Tentu kita akan bertanya, lantas siapa yang melayani si pemilik bisnis? Jawabannya bisa sangat banyak. Tapi yang jelas, menurut konsep melayani memang mudah diucapkan, tapi sangat berat untuk dilaksanakan.

Sebagai entrepreneur yang sudah cukup lama menggeluti dunia bisnis, pasti akan selalu berhubungan dengan banyak orang. Apalagi kita sebagai seorang pemimpin perusahaan, tentunya melayani banyak orang adalah pekerjaan yang harus dilakukan. Melayani banyak orang artinya bisnis kita jalan. Saya kira, melayani itu harus mengalahkan diri kita dulu sebelum memberikan pelayanan kepada orang lain. Melayani berarti tidak boleh pilih kasih. Pelayanan bisa berarti kita melayani orang-orang dilingkungan bisnis kita. Dan, kita tidak mungkin bekerja tanpa harus saling melayani.

Melayani bawahan berarti memberikan perhatian pada bawahan kita. Melayani manajer berarti memberikan penghargaan pada mereka. Dan, melayani konsumen adalah pekerjaan kita yang utama. Perusahaan yang ingin berkembang, maka pelayanan adalah segala-galanya. Bisnis melayani banyak orang akan mendatangkan banyak omzet.

Saya sependapat dengan Robert T. Kiyosaki, dalam bukunya yang ke-4 berjudul “Rich Kid, Smart Kid”. Dalam buku tersebut dikatakan, bahwa jika kita membangun sebuah bisnis yang melayani ribuan orang, sebagai timbal balik dari bisnis kita, maka kita akan menjadi jutawan. Nah kalau kita melayani jutaan orang, maka kita pun akan menjadi miliarder. Oleh karena itu, kita sebagai entrepreneur harus selalu siap melayani banyak orang, dan jangan alergi melakukannya. Percayalah, dengan kita semakin melayani banyak orang, maka rezeki yang datang pun semakin banyak pula.

BAGIAN 5 JALUR CEPAT JADI ENTREPRENEUR


Janganlah Anda menaruh telur dalam suatu keranjang, kalau tergunjang dan jika semua telur pecah, hilang semua harapan tanpa sisa. Dalam konteks entrepreneur, petuah itu bisa dijabarkan menjadi janganlah menaruh harapan pada satu usaha. Seorang pengusaha akan semakin diakui kepiawaiannya bila sudah berhasil membuka usaha dan berjalan mulus, pikiran untuk merintis usaha kedua, ketiga dan keempat. Janganlah puas untuk mempunyai satu perusahaan sebagai satu-satunya sumber penghasilan saja.

Bisnis itu seperti roda, kadang di atas, kadang pula dibawah. Seiring berjalannya waktu, tak semua jenis usaha bisa bertahan dan langgeng. Untuk itu sebagai back uo sangat dianjurkan seorang pengusaha merintis usaha tanpa harus memikirkan, ada kaitannya antara usaha baru dengan usaha sebelumnya. Sebagai business owner, sebaliknya pengusaha itu tidak perlu focus pada usahanya. Memang saat perintisan usaha, focus memang perlu, tapi setelah usaha berjalan dan para staf atau manajer bisa menjalankannya, pemilik tak perlu focus memikirkan masa depan usaha itu, lebih baik memikirkan ide untuk membuka usaha baru lainnya. Semakin banyak usaha baru yang bisa dibuka semakin banyak lapangan kerja bisa tersedia dan tenaga yang bisa di tampung pun semakin banyak.

Yang tak kalah penting, apapun dalam bisnis hendaknya terus mengembangkan konsep melayani lebih banyak orang. Oleh karena dengan semakin banyaknya orang yang bisa dilayani, bisa ditebak, akan semakin banyak rezeki yang bisa kita petik. Kalau kita melayani ratusan orang yang bisa kita layani lewat usaha kita, maka miliaran rupiah bisa kita peroleh, begitu seterusnya, jadi jangan lelah melayani karena itu akan berbanding lurus dengan rezeki.

Jangan lupa, kalau sudah banyak rezeki banyak pulalah beramal. Jangan berfikir negative pada para peminta sumbangan yang datang, justru kita diingatkan untuk menyumbang. Bahkan boleh ditafsirkan, menyumbang itu ibarat seorang pengusaha yang sedang belajar berinvestasi, memberikan dana tanpa berfikir kepastian. Itu tanda kita berani mengambil resiko, itulah yang menjadi ciri entrepreneur sejati.

EGALITER ITU PERLU


Teori kepemimpinan berdasarkan gen mengungkapkan, bahwa pada dasarnya setiap orang itu sama. Begitu pula halnya, didalam mendambakan perhatian positif. Saya melihat salah satu upaya untuk mewujudkan hal itu adalah jika kita berhasil menerapkan hubungan yang lebih mengedepankan aspek humanis dan harmonis dalam komunikasi antara level struktural atau yang lebih dikenal dengan hubungan egaliter. Saya merasa yakin, bahwa hubungan semacam ini segi manfaatnya sangat besar, bila kita benar-benar berhasil menerapkannya di perusahaan kita masing-masing.

Hanya saja, hubungan ini akan berjalan bila diawali oleh pimpinannya. Kita sebagai seorang wirausahawan atau entrepreneur yang juga adalah seorang pemimpin, memang perlu memberikan suri teladan terlebih dahulu akan pentingnya hubungan egaliter ini pada lingkungan kerja kita, pada staf kita. Sebab, hubungan egaliter itu akan membuat kita semakin faham pada suatu bentuk komunikasi yang transparan dan jujur. Begitu halnya dalam hubungan intrapersonal. Dimana, hubungan antara pimpinan dengan staf tak ada lagi jarak yang tajam. Namun, sikap saling menghormati tetap terjaga.

Menurut saya, dampak positif lain dalam hubungan egaliter itu adalah kita akan lebih dapat meningkatkan kecerdasan emosional kita. Terutama pada hal yang berkaitan dengan soal membina hubungan dengan orang lain, dan mengenali emosi orang lain. Dengan begitu, kita akan lebih mudah menyelaraskan diri (harmonizing) dengan orang lain.

Itu penting kaitannya dengan bisnis. Sebab, hubungan semacam ini akan memungkinkan kita lebih memiliki rasa percaya diri yang kuat. Segala ide, pemikiran dan gagasan bisnis kita juga akan semakin baik. Sehingga hal itu, tidak mustahil akan membuat kita cenderung lebih kreatif, dan akhirnya kita akan lebih produktif. Begitu pula halnya dengan semangat kita dalam berwirausaha juga akan semakin bergairah. Dan, sukses akan mudah tercapai.

Dengan begitu, saya rasa hubungan antara pemimpin dengan staf tidak harus melewati dulu birokrasi yang berbelit-belit. Ruang kerja bisa kita buat sedemikian rupa, kalau perlu terbuka, sehingga komunikasi dua arah (two way traffic communication) antara pimpinan dengan staff akan lebih mudah tercipta.

Kita tentu mengerti, bahwa pimpinan dalam mengembangkan bisnisnya tak bisa sendiri. Membutuhkan bantuan staf. Maka, sebaiknya, kita sebagai seorang entrepreneur tak perlu ragu lagi menerapkan hubungan harmonis semacam itu.

Apalagi di saat sekarang ini, jelas tak hanya menuntut kita piawai atau jeli di dalam melihat dan meraih peluang bisnis, tapi kita juga harus pintar pula menerapkan bentuk hubungan kerja yang harmonis. Tim kerja di perusahaan kita akan semakin kompak dan solid.

Hubungan egaliter itu, saya rasa perlu karena hubungan ini akan lebih mengkondisikan kita untuk mau mendengarkan pendapat orang lain. Kepercayaan diri kita maupun staf juga akan tumbuh. Padahal kita tahu bahwa kepercayaan itu adalah faktor paling penting di balik setiap tindakan kreatif.

Namun, kultur ini tidak ada kolerasinya bahwa yang pantas menerapkannya adalah harus mereka yang memiliki intelektualitas tinggi. Justru yang terpenting adalah bagaimana kita bisa memimpin. Memimpin adalah sesuatu yang berkaitan dengan mengelola orang-orang yang pintar. Namun, itu bukan berarti kita harus menjadi orang paling pintar atau professional.

Memang entrepreneur itu harus didampingi professional, agar bisnisnya lebih berkembang. Sebab cara berfikirnya seringkali meloncat-loncat. Sementara, seorang professional pemikirannya cenderung yang lurus-lurus atau yang aman-aman. Maka cukup riskan, bila dia lantas mencoba menjalankan bisnisnya seorang diri alias one man show. Kualitas manajemennya akan kurang baik. Maka, seorang entrepreneur dan professional harus memiliki hubungan yang harmonis.

Apalagi dalam waktu dekat ini kita akan memasuki milenium ketiga yang kemungkinan besar dunia bisnis kita cenderung akan penuh dengan hyper-competition, suatu persaingan yang sangat ketat. Maka, tanpa ada hubungan seperti itu di lingkungan kerja atau perusahaan kita, maka tentu saja target bisnis kita akan sulit tercapai.

Oleh karena itu, tak ada salahnya bila kita berani mencoba menerapkan hubungan egaliter ketimbang hubungan yang terlalu mengedepankan jarak atau gap antara pimpinan dengan staf. Sebab, hubungan seperti ini akan membuat suasana kerja menjadi tisak kondusif atau tidak enjoy. Kreatifitas juga bisa mandeg dan prestsi kerjapun akan menurun. Itu sebabnya, mengapa hubungan egaliter itu perlu.

DAN


Siapa yang tak kenal dengan kelompok music anak muda dari Yogya, Sheila on 7 ? Tentu, anda semua pernah mendengarkan lagu hitsnya yang berjudul “DAN”. Konon, album pertamanya itu terjual lebih dari 1 juta keeping. Kita tentu bangga dengan kesuksesan mereka.

Judul lagu “Dan” itu cukup menarik buat saya. Namun, “Dan” dalam tulisan ini artinya sinergi. Sebab, yang saya ungkap kali ini bukanlah asyiknya mendengarkan lagu “Dan”, namun bagaimana pentingnya sebuah sinergi dalam dunia bisnis. Saya yakin, kita bisa menjadi entrepreneur tangguh atau terdepan, bila kita bisa bersinergi. Bekerjasama dengan pihak lain, demi kesuksesan bisnis kita.

Mungkin Anda bertanya, apa benar bersinergi itu menguntungkan kita ? Sebab, tak sedikit kasus yang menunjukan bahwa bersinergi dengan orang lain justru membuat bisnis kita sulit berkembang. Saya sudah menduga, pasti pertanyaan Anda seperti itu. Memang, tak selamanya bersinergi itu negative. Tapi sebaliknya, bersinergi membuat bisnis kita maju dan kita mampu memanfaatkan peluang bisnis. Konsep bisnis kita menjadi brilian, selama sinergi yang saya maksud itu positif.

Setelah diteliti, ternyata memang sinergi itu bisa negative dan bisa positif. Untuk kita menjadi yang terbaik, tentu kita harus mencari rekan bisnis yang positif. Ini menunjukan, bahwa kita akan memiliki kekuatan, potensi kuat dan mampu meyakinkan prospek bisnis kita. Dengan sinergi positif, saya yakin kita akan memiliki pemikiran jauh ke depan penuh kepercayaan diri, sehingga mampu mengantisipasi hal-hal yang tidak pasti.

Apalagi, dalam era global, dunia bisnis berputar cepat, terkadang tidak rational, tidak pasti, sehingga menghadapi hal itu kita memang harus memiliki sinergi atau kekuatan kerjasama yang sangat tinggi. Saya yakin hal itu akan menjadikan kita menjadi entrepreneur yang selalu optimis atau memiliki sense of optimism yang tinggi. Tapi juga bisa sebaliknya, bila sinergi itu negative, maka bisnis apapun yang kita jalankan tidak akan berhasil.

Keyakinan saya pun bertambah dengan pengalaman ini. Saya pernah diajak bisnis pom bensin dengan teman pengusaha. Tapi setelah lewat proses panjang, ternyata sulit terealisir. Saat itu saya belum yakin, apakah karena itu sinerginya negative? Empat tahun kemudian saya ketemu lagi sama teman pengusaha tadi, yang kini buka bisnis computer. Dia mengajak saya lagi bisnis showroom atau jual beli computer.

Rupanya, saya dan teman saya itu sama-sama belum pecaya bahwa sinergi kami negative. Kami coba lagi, tapi gagal. Bisnis itu sampai kini belum terealisir juga. Contoh lain, artis Camelia Malik. Saat dia bersuamikan Reynold, pasangan ini tidak cocok dan tidak dikaruniai anak. Tapi, setelah berpisah dan mereka menemukan pasangan masing-masing, ternyata cocok dan dikaruniai anak. Jadi tak ada sinergi positif.

Begitu juga hubungan sinergi antara owner dengan eksekutif. Bisa positif, bisa juga negative. Namun, bagi kita yang percaya pada sinergi, jumlah satu ditambah satu bukan hanya dua. Bisa sepuluh, seratus, bahkan seribu. Saya sendiri tidak meragukan hal ini. Tapi setidaknya, dengan kita memiliki kecerdasan optimal dan intuisi yang tajam, saya yakin, kita akan semakin pintar memilih rekan bisnis yang bersinergi positif. Dan tidak mustahil, entrepreneur yang memiliki kemampuan tersebut akan sangat menguntungkan bagi bisnis maupun kehidupannya.

PEMIMPIN BUKAN MANAGER


Melakukan hal-hal yang benar (ding the right things), berani menghadapi risiko dan memiliki untuk selalu nomor satu. Ide-ide bisnisnya orisinil, dan menaruh mata ke masa depan serta memiliki perspektif jauh ke depan penuh kepercayaan diri. Itu salah satu profil seorang pemimpin.

Walaupun banyak yang menganggap pemimpin itu menyukai segala bentuk macam tantangan, karena rasa optimis yang selalu dimilikinya. Cukup menarik buat saya. Sebab yang saya amati dan rasakan, pemimpin bukan hanya mampu manggerakan orang lain, melainkan juga berani mengambil pola pikir yang tidak popular sekalipun, mampu memberikan solusi, dan memiliki semangat untuk menjadi selalu yang terdepan.

Setelah diteliti, ternyata dalam menjalankan bisnis saat ini maupun masa datang, memang seharusnya memiliki manager leader, manajer yang punya jiwa pemimpin. Mengapa? Sebabnya adalah persaingan yang serba kompetitif, situasi bisnis yang kompleks dan sulit diramalkan keberlangsungannya, sehingga sangat dibutuhkan sosok manajer seperti itu. Kalau tidak, kita akan kalah bersaing. Akibatnya, bisnis yang kita jalankan akan sulit maju.

Saya setuju pendapat pakar manajemen yang mengatakan, kalau pemimpin itu selalu melakukan hal-hal yang benar, sementara manajer hanya mampu melakukan hal-hal dengan benar (doing the things right). Dimana, seorang pemimpin dalam melakukan hal-hal yang benar tidak terlalu memperdulikan caranya. Itu tak terlalu penting baginya. Sebab, bagi seorang pemimpin, hal-hal yang menyangkut urusan pelaksanaan idenya itu adalah tugas manajer. Pemimpin selalu berfikir loncat-loncat, dan jangkauannya sering kali panjang, bisa membingungkan bawahan untuk mengikutinya.

Lain halnya dengan manajer. Jangkauan ide atau gagasannya pendek, dan wawasannya relatif kering. Kewajibannya adalah bagaimana melakukan tugasnya dengan benar. Manajer baru jalan setelah ada planning dulu, sudah ada program kerja atau prototype-nya. Wajar kalau ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya manajer itu tiruan, sementara pemimpin itu adalah orisinal.

Itu mengingat, ide tau gagasan seorang pemimpin tidak pakai planning. Responsibilitasnya memang tidak setiap saat muncul. Bila ternyata ide-ide bisnis yang diajarkannya itu nanti benar atau salah, urusan belakangan. Baginya yang terpenting telah menemukan ide bisnis yang cemerlang.

Kita bisa juga lihat, bahwa manajer dalam rangka mempertahankan proses atau kontinuitas kerjanya cenderung menerima status quo. Statusnya ingin aman-aman saja. Bahkan, kalau perlu menghindar dari resiko. Tapi sebaliknya dengan pemimpin. Ia justru menentang status quo, dan lebih berani menghadapi resiko. Perbedaan lainnya, adalah seorang manager itu suka bertanya, bagaimana dan kapan terhadap sesuatu hal. Sedang pimpinan lebih suka bertanya apa dan mengapa. Selain itu, pimpinan lebih terkesan ingin menjadi pribadinya sendiri, dan menguasai lingkungannya. Sementara manager adalah “tentara baik” yang klasik, dan menyerah kepada lingkungan.

Manajer dalam menjalankan aktivitasnya juga sangat bergantung pada pengawasan. Dia ingin selalu mengelola dan mempertahankan bisnis yang sudah ada, serta lebih berfokus kepada sistem dan struktur. Sementara, pemimpin lebih merupakan sososk yang justru mampu membangkitkan kepercayaan bawahannya atau relasinya. Itu sebabnya, mengapa fokus seorang pemimpin lebih kepada orang, dan bukan pada sistem dan struktur.

Oleh karena itu, jika kita sekarang berada pada posisi manajer, sebaiknya tidak menafikan atau menghilangkan nuansa-nuansa atau jiwa kepemimpinan. Agar segala keputusan yang diambil tidak kering, lebih tenang dalam menjalankan bisnis, mampu mengantisipasi hal-hal yang tak pasti, enerjik, antusias, memiliki integritas, tegas tapi adil, visi bisnisnya lebih jelas, dan mampu memproyeksikan bisnis ke masa depan.

TENTANG GURU ENTREPRENEUR

Lewat Bimbingan Belajar Primagama, Purdi berhasil menjadi pengusaha sukses. Untuk meraih impiannya Purdi berhenti kuliah. Akhirnya ia berhasil juga mendapatkan gelar dari lembaga pendidikan yang dibentuknya sendiri.

purdiSosok Purdi E. Chandra kini dikenal sebagai pengusaha yang sukses. Lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel) Primagama yang didirikannya bahkan masuk ke Museum Rekor Indonesia (MURI) lantaran memiliki 181 cabang di 96 kota besar di Indonesia dengan 100 ribu siswa tiap tahun. Apa resep suksesnya sehingga Primagama kini menjadi sebuah holding company yang membawahi lebih dari 20 anak perusahaan?

Lego Motor, Berhenti Kuliah
Bukan suatu kebetulan jika pengusaha sukses identik dengan kenekatan mereka untuk berhenti sekolah atau kuliah. Seorang pengusaha sukses tidak ditentukan gelar sama sekali. Inilah yang dipercaya Purdi ketika baru membangun usahanya.

Kuliah di 4 jurusan yang berbeda, Psikologi, Elektro, Sastra Inggris dan Farmasi di Universitas Gajah Mada (UGM) dan IKIP Yogya membuktikan kecemerlangan otak Purdi. Hanya saja ia merasa tidak mendapatkan apa-apa dengan pola kuliah yang menurutnya membosankan. Ia yakin, gagal meraih gelar sarjana bukan berarti gagal meraih cita-cita. Purdi muda yang penuh cita -cita dan idealisme ini pun nekad meninggalkan bangku kuliah dan mulai serius untuk berbisnis.

Sejak saat itu pria kelahiran Punggur, Lampung Tengah ini mulai menajamkan intuisi bisnisnya. Dia melihat tingginya antusiasme siswa SMA yang ingin masuk perguruan tinggi negeri yang punya nama, seperti UGM.

Bagaimana jika mereka dibantu untuk memecahkan soal-soal ujian masuk perguruan tinggi, pikirnya waktu itu. Purdi lalu mendapatkan ide untuk mendirikan bimbingan belajar yang diberi nama, Primagama.

Saya mulai usaha sejak tahun 1982. Mungkin karena nggak selesai kuliah itu yang memotivasi saya menjadi pengusaha, kisah Purdi. Lalu, dengan modal hasil melego motornya seharga 300 ribu rupiah, ia mendirikan Bimbel Primagama dengan menyewa tempat kecil dan disekat menjadi dua. Muridnya hanya 2 orang. Itu pun tetangga. Biaya les cuma 50 ribu untuk dua bulan. Kalau tidak ada les maka uangnya bisa dikembalikan.

Segala upaya dilakukan Purdi untuk membangun usahanya. Dua tahu setelah itu nama Primagama mulai dikenal. Muridnya bertambah banyak. Setelah sukses, banyak yang meniru nama Primagama. Purdi pun berinovasi untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikannya ini.

Sebenarnya yang bikin Primagama maju itu setelah ada program jaminan diri, ungkapnya soal rahasia sukses mengembangkan Bimbel Primagama. Kalau ikut Primagama pasti diterima di Universitas Negeri. Kalau nggak uang kembali. Nah, supaya diterima murid-murid yang pinter kita angkat jadi pengajar. Karena yang ngebimbing pinter, ya 90% bisa lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri, lanjutnya.

Mengembangkan Sistem Waralaba

purdi1987Karena reputasinya Bimbel Primagama makin dikenal di Kota Pelajar, Yogya. Purdi tak cepat berpuas diri. Ia ingin mengembangkan cabang Primagama di kota lain. Mulailah cabang-cabang Primagama bermunculan di Bandung, Jakarta dan kota besar lain di Indonesia.

Purdi juga berinovasi mengembangkan sistem franchise atau waralaba (pemberian hak pada seseorang dalam penggunaan merek untuk menjalankan usaha dalam kurun waktu tertentu). Di Pekanbaru, Sampit ( Kalimantan Tengah) dan Tangerang telah dibuka cabang dengan sistem ini. Menurutnya sistem ini sangat tepat untuk dikembangkan sebab usaha bisa berkembang tanpa harus menyiapkan dana sendiri.

Sistem ini lebih menguntungkan untuk mengembangkan usaha kita daripada cara yang lainnya. Selain tak perlu merogoh kocek untuk investasi lagi ternyata keuntungan sebagai pemilik merek cukup besar. Yang jelas orang lain membayar merek dan royalti tiap bulannya pada kita, jelas ayah dari Fesha dan Zidan ini.

Purdi yakin merek lokal bisa berkembang dengan sistem ini dan bukan terbatas pada produk makanan saja. Jika merek lokal bisa masuk bisnis waralaba bukan tidak mungkin akan menjadi produk ini bisa jadi produk global seperti McDonald. Namun ia menyayangkan di Indonesia belum ada lembaga yang menyiapkan sistem waralaba mulai dari persiapan awal hingga jadi.

Pengusaha Yang Berani
Keberanian adalah salah modal wirausaha. Purdi menyatakan seorang wirausaha harus berani mimpi, berani mencoba, berani merantau, berani gagal dan berani sukses. Lima hal ini adalah hasil dari pengalamannya selama ini.

Sejak dini Purdi sudah dididik berjiwa usaha. Di bangku SMP ia sudah beternak ayam dan bebek, kemudian menjual telurnya ke pasar. Purdi bermimpi kelak ia akan menjadi pengusaha sukses.

Berani mimpi menurut Purdi adalah cetak biru dari sebuah visi ke depan seorang wirausaha. Mimpi itu akan mensugesti seseorang untuk berhasil dan mengerahkan semua kemampuannya untuk mencapai visinya. Mimpi ini pula akan memotivasi bawahannya dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih dinamis.

Orang yang memiliki mimpi besar dicontohkan Purdi adalah Bill Gates yang bermimpi kelak di semua rumah di dunia akan memiliki computer. Atau juga Michael Dell yang bermimpi mengalahkan perusahaan komputer raksasa IBM. Mereka ini menurut Purdi orang yang yakin mimpinya akan jadi kenyataan dengan kerja keras.

Orang itu tidak pernah gagal, hanya saja dia berhenti mencoba, tukas pria yang mendapatkan gelar dari lembaga pendidikan yang dibentuknya sendiri. Purdi mengingatkan jika seorang ingin berhasil dalam bisnis harus berani mencoba. Situasi sulit justru membuat seorang wirausaha semakin tertantang.

Soal merantau, Purdi muda sudah berani meninggalkan kota kelahirannya dan mencoba mandiri dengan bersekolah di salah satu SMA di Yogyakarta. Ibunya, Siti Wasingah dan ayahnya, Mujiyono, merestui keinginan kuat anaknya untuk mandiri. Dengan merantau Purdi merasa tidak tergantung dan bisa melihat berbagai kelemahan yang dia miliki. Pelan-pelan berbagai kelemahan itu diperbaiki oleh Purdi. Hasilnya, Ia mengaku semakin percaya diri dan tahan banting dalam setiap langkah dalam bisnisnya.

Gagal dan berhasil ada dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Namun, bagaimana menyikapi sebuah kegagalan itu yang penting. Baginya, pengalaman gagal dapat dipergunakan untuk menemukan kekuatan baru agar bisa meraih kesuksesan kembali.

Mungkin saja kegagalan itu datang untuk memuliakan hati kita, membersihkan pikiran kita, memperluas wawasan kita, membersihkan pikiran kita dari keangkuhan dan kepicikan, serta untuk lebih mendekatkan diri kita pada Tuhan, kata pria yang mengaku pernah 10 kali gagal saat membuat restoran Padang.

BODOL, BOTOL dan BOBOL
Purdi mengaku punya resep manjur bagi yang ingin berwirausaha, yaitu BODOL, BOTOL dan BOBOL. Mungkin masih kedengaran aneh di telinga, namun ia meyakinkan bahwa resep ini berguna bagi yang merasa ragu-ragu dan terlalu banyak perhitungan dalam berusaha yang malah menghambat rencana mereka untuk berwirausaha.

Jika orang bingung ketika memulai bisnis karena tak punya modal, menurut Purdi gunakan saja resep BODOL yaitu Berani, Optimis, Duit, Orang Lain. Dalam bisnis diperlukan keberanian dan rasa optimis. Jika tidak punya uang tidak ada salahnya pinjam duit orang lain. Pasti ada orang yang mau membiayai bisnis yang akan kita jalankan jika memang prospektif.

Kalau kita punya duit dan modal tapi tidak ahli di bidang bisnis, gunakan jurus BOTOL, tukas Purdi. Berani, Optimis, Tenaga, Orang Lain. Jika kita punya modal, kenapa tidak kita serahkan pada yang ahli di bidangnya sehingga bisnis tetap berjalan. Pendeknya kita tak harus menggunakan tenaga sendiri untuk menjalankan bisnis.

Resep terakhir adalah jurus BOBOL. yaitu Berani, Optimis, Bisnis, Orang, Lain. Ini dikeluarkan jika ide bisnis pun tak ada maka kita bisa meniru bisnis orang lain tambah Purdi. Ibaratnya, bisnis adalah seperti masuk ke kamar mandi yaitu dengan tidak banyak berpikir. Jika di kamar mandi airnya kurang hangat, semua bisa diatur hingga sesuai dengan keinginan kita.

Enterpreuner University, Kuliah Tanpa Gelar
Semua orang bisa jadi wirausahawan, ucap suami Triningsih Kusuma Astuti ini yakin. Memang yang paling baik ditanamkan pendidikan enterpreuner ini sejak kanak-kanak di dalam keluarga. Sebab, anak akan merekan semuanya dalam memorinya dan selanjutnya akan menjadi pola pikir dan cara perilaku anak di masa depannya. “Namun, itu bukanlah hal-hal penentu keberhasilan. Begitu pula dengan faktor usia, kaya-miskin, jenius atau tidak, juga gelar formal, kata pria yang juga menjadi dosen tamu di beberapa universitas ini.

Untuk menjadi pengusaha tak perlu pintar dan memiliki embel-embel gelar. Sebab jika terlalu pintar justru malah akan berhitung dan melihat banyak resiko yang harus dihadapi sehingga nyalinya malah ciut. Bayangkan anda kuliah Magister Manajemen (MM) di UI anda harus bayar 50 juta. Selesai kuliah mungkin anda merasa tidak punya uang, katanya lagi.

Keprihatinannya terhadap iklim bisnis di Indonesia menyebabkan Purdi harus melakukan sesuatu. Tampilah ia sebagai bagian dari politisi yang manggung di Senayan sampai tahun ini. Keinginannya adalah merubah pola pendidikan saat ini yang berorientasi menjadi pekerja bukan pengusaha. Seharusnya, menurut pria yang pernah menjadi ketua Himpunan Penguasaha Muda Indonesia (HIPMI) cabang Yogya ini, ada alternatif lain dalam sistem pendidikan kita. Paling tidak anak-anak diajarkan untuk berwira usaha. Sayangnya idenya tidak mendapat tanggapan.

Saya merasa adanya universitas untuk mencetak pengusaha baru itu penting. Kalau perlu universitas ini tidak perlu menggunakan aturan formal, tanpa status,tanpa akreditasi, tanpa dosen, tanpa ijazah dan tanpa gelar. Wisudanya pun dilakukan saat mahasiswa benar-benar membuka usaha, ujar pria yang menerima Enterprise 50 dari Anderson Consulting dan Majalah Swa ini serius.

Idenya ini diwujudkan dengan membentuk Enterpreuner University (EU). Dengan dibimbing langsung oleh Purdi, EU kini telah memiliki 37 angkatan. Di sana tak ada nilai, ijazah maupun gelar. Menurut Purdi masyarakatlah yang berhak menilai pengusaha itu memiliki kredibilitas atau tidak, sukses atau tidak. Hal ini berbeda dengan pendidikan yang memberlakukan ujian tapi tidak membolehkan siswanya mencontek.

Dalam dunia riil bisnis, yang namanya bertanya sah-sah saja. Menyontek usaha orang lain juga boleh saja. Meniru kiat sukses pengusaha lain juga silahkan. Nggak ada yang melarang, Purdi beralasan.

Di EU yang hanya memakan waktu 6 bulan dan kuliah seminggu 2 kali ini, Purdi mengkonsentrasikan pendidikannya pada pengembangan kecerdasan emosional, spiritual, mempertajam kreativitas dan intuisi bisnis mahasiswanya. Materinya pun seputar nilai-nilai kewirausahaan seperti pantang menyerah, kreatif dan inovatif, semangat tinggi, berani dan jeli melihat peluang usaha. Purdi yakin kelak EU akan mencetak pengusaha-pengusaha baru yang akan menggiatkan iklim investasi di Indonesia.

MIMPI JADI INVESTOR

Menjadi Karyawan (employee), bisnis sendiri (self-employed), menjadi pengusaha (business owner), dan sekaligus sebagai investor, itu memang bisa menjadi pekerjaan kita. Contohnya, dokter, selain dia sudah tercatat sebagai pegawai negeri atau sebagai karyawan, dia pada saat praktik di rumah atu di tempat praktiknya, maka sang dokter itu sudah mengelola bisnis sendiri.
Nah, apabila dokter itu punya klinik.

MIMPI JADI ENTREPRENEUR


Banyak diantara kita yang ingin bekerja pada perusahaan orang lain, sebagai karyawan. Apakah itu sebagai karyawan perusahaan swasta maupun pegawai negeri. Saya kira alasannya, kita tentu sudah tahu semua, yaitu sebagai karyawan yang dibutuhkan adalah keamanan. Setiap bulan ada kepastian terima gaji. Setelah itu dapat pensiun.
Mengapa tidak tertarik untuk menjadi Entrepreneur. Saya kira, hal itu.

SULIT UNTUK MEMULAI

Banyak pertanyaan, mengapa orang itu sulit memulai usaha. Dan, ahirnya banyak alasan yang sengaja dicari-cari yang dijadikan sebagai alasan pembenar, bahwa memulai usaha itu sulit, karena memulai usaha itu harus ada modal, punya tempat, dll. Padahal, menurut saya, jika kita memiliki jiwa wirausaha, maka persoalan semacam itu akan bisa kita atasi. Sehingga, ahirnya menyadari bahwa.